mesirdakwatuna.com
– Kairo. Rencana demo 30 Juni kian memanas dalam perpolitikan Mesir. Rencana
demo besar-besaran yang diserukan gerakan memberontak ‘Tamarrud’ ini
disebut-sebut sebagai garis merah upaya menggulingkan Mursi dan Ikhwanul
Muslimin dari pemerintahan.
Aksi yang
diklaim sebagai demonstrasi damai ini telah didahulu oleh kekerasan, premanisme
dan penyerangan terhadap kantor gubernur dan beberapa kantor Ikhwanul Muslimin
di provinsi Gharbiyah dan Kafr Syeikh. Setidaknya 100 masa pendukung gubernur
Gharbiyah yang baru dilantik itu mengalami luka serius akibat lemparan bata,
batu, molotov, senjata api dan senjata tajam, sebagai dampak dari longgarnya
keamanan. Bahkan polisi membiarkan para preman bersenjata berkeliaran di
jalanan. Di Tanta para preman juga dilaporkan telah mengepung beberapa masjid.
Tindak kekerasan
terhadap IM dan massa pendukung Mursi kerap terjadi semenjak terpilihnya Mursi
sebagai presiden Mesir. Aksi teror dan upaya kudeta terhadap Mursi yang
mendapat dukungan dari Amerika dan Israel tersebut terus berlanjut hingga saat
ini. Meskipun berkali-kali gagal, oposisi yang dipimpin oleh Front Penyelamat
Nasional (Jabhah Inqodz) itu terus melakukan propaganda kekacauan, seruan
kudeta dan percepatan pemilu. Mereka menyerukan 30 Juni sebagai ‘Revolusi
Hakiki’ menurunkan ‘rezim’ Ikhwanul Muslimin.
Terkait hal ini,
Al-Azhar kemarin (19/6) mengeluarkan pernyataan resmi bahwa menentang
pemerintahan yang sah dengan cara damai boleh menurut syariat, tidak ada
hubungannya dengan masalah iman dan kufur. Namun -lebih lanjut- Al Azhar
mewanti-wanti dari adanya tindakan kekerasan. Karena kekerasan dan menggunakan
senjata adalah dosa besar seperti yang dilakukan oleh kelompok Khawarij
menentang pemerintahan Khulafaur Rasyidin, walaupun mereka tidak dinyatakan
kafir dan tidak keluar dari Islam.
Grand Syaikh
Azhar, Dr. Ahmad Thayib dengan tegas menyatakan bahwa orang-orang yang keluar
dari pemerintahan yang sah dengan melakukan kekerasan dan menggunakan senjata
adalah “penjahat dan pembangkang yang harus ditumpas”. Mereka ditumpas karena
melakukan kekerasan dan menggunakan senjata, bukan keluar dari agama. Hal ini
sesuai dengan pendapat para ulama dan fuqaha.
Di pihak lain
Jamaah Ikhwanul Muslimin mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam aksi sejuta
masa menolak kekerasan, Jum’at (21/6) di depan Masjid Rabea El-Adawea, Nasr
City- Cairo.
Ahmed Arif -juru
bicara IM- menyatakan bahwa aksi sejuta massa tersebut merupakan aksi damai
menolak semua bentuk kekerasan dan pelanggaran khususnya setelah adanya
tindakan premanisme di beberapa provinsi. Selain itu aksi ini merupakan wujud
dukungan terhadap pemerintahan sah yang ada sekarang. Dengan adanya presiden
dengan pemerintahannya, parlemen dan gubernur, saat ini masyarakat Mesir telah
memulai kehidupan demokrasi mereka yang sebenarnya dan sedang menuju
penyempurnaan tatanan kehidupan bernegara.
Partai Kebebasan
dan Keadilan menilai kekerasan tersebut merupakan tanggungjawab pimpinan Jabhah
Inqadz. Muhammed Al-Baradei, Amru Musa, Sayid Badawi dan Hamden Sabahi harus
bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi di beberapa daerah beberapa
hari yang lalu. Hal tersebut dikarenakan sikap penolakan mereka untuk
berunding. Bahkan mereka bersumpah bersama para fulul untuk untuk melengserkan
pemerintahan Mursi yang dinilai diktator dengan segenap jiwa, raga dan darah
mereka. (dkw/sin)
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/
0 komentar:
Posting Komentar