Dwi Budiyanto
Jogja
Meninggalkan dakwah itu perkara gampang. Kita tinggal sedikit demi sedikit menjauhinya saja. Tidak aktif lagi tanpa pemberitahuan. Tidak merespon saat dihubungi. Bersikap masa bodoh terhadap aktivasi. Tidak datang saat diundang. Sembunyi ketika dimobilisasi. Intinya, bersikap cuek dan masa bodoh saja. Tenggelamkan dalam aktivitas yang memuaskan diri. Dengan cara demikian lambat laun kita akan meninggalkan (atau barangkali lebih tepat — ditinggalkan dakwah). Gampang sekali. Tapi apa manfaatnya bagi kita mengambil sikap demikian?
Benar, meninggalkan dakwah itu perkara yang mudah. Tapi saya sangat
yakin, jauh lebih mudah lagi bagi Allah ta’ala untuk mencari pengganti
yang jauh lebih baik daripada mereka yang memutuskan untuk ‘pensiun’
dari dakwah. Para pengganti itu akan menggerakkan dakwah jauh lebih
ikhlas dan bersemangat. Ya, sangat mudah bagi Allah untuk melakukannya.
Sangat mudah. Tidak ada sedikit pun kerugian bagi dakwah ketika
seseorang resign darinya. Dakwah akan terus berjalan, ada atau pun tanpa
kita.
Sekali lagi kita bertanya, apa manfaatnya bagi hidup kita? Dakwah memang
tidak memberi tumpukan harta. Bahkan bisa jadi kitalah yang mesti
menyisihkan dari yang Allah karuniakan pada kita untuk menggerakkan
dakwah. Tapi di sanalah kita menemukan makna yang indah. Kita terlibat
dalam dakwah bukan untuk memperoleh harta berlimpah. Kita ingin
mendapatkan keridlaan Allah, sehingga dengannya hidup kita bertabur
barakah. Sekiranya kita memilih ‘masa bodoh’ dan resign dari
dakwah, sungguh ada satu hal yang dikhawatirkan: dicabutnya barakah dari
hidup kita. Direnggutnya rasa qanaah terhadap harta dari diri kita.
Tiba-tiba saja kita berubah menjadi orang yang sangat ‘kemaruk’ dan
rakus terhadap duniawi, secuil apapun ia. Lalu aktivitas dakwah
ditinggalkan. Forum-forum pembinaan mulai diabaikan. Sebagai gantinya
proyek-proyek materi menjadi lebih diutamakan.
Dalam situasi demikian (kadang) seseorang masih merasa berkebajikan.
Padahal, yang dilakukannya tidak lebih dari aktivitas remeh yang
disesaki oleh hasrat yang besar terhadap uang. Semakin dikejar, rasa
puas tak pernah akan terpenuhi. Tiba-tiba juga kebutuhan tak bisa
tercukupi, padahal pendapatan lebih banyak dari sebelumnya. Jika hal
demikian yang terjadi, alangkah baik, sekiranya kita berhenti sejenak.
Menelisik kondisi diri. Jangan-jangan kebarakahan itu telah dicerabut
dari hidup kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Setiap saat kita memang perlu menelisik diri. Jika ada benih-benih
bergesernya orientasi, mari diluruskan kembali. Saat kelesuan mulai
tumbuh, segera pupus dengan semangat beramal. Ketika kejenuhan mulai
melanda, perlulah silaturahmi agar ada penyegaran dan suntikan semangat
membara. Memperturutkan kelesuan dan kemalasan beraktivitas dakwah hanya
mendatangkan situasi yang semakin berat. Lambat laun seseorang
berkemungkinan ‘resign’ tanpa pamitan. Dalam situasi demikian, ia tidak
menyadari bahwa ada yang berbeda dari cara berpikir, berasa, dan juga
bertindak. Mulailah ia bersikap seperti penumpang dan mulai menanggalkan
mental seorang sopir (driver) yang bersemangat, pantang menyerah dan
berkeluh kesah, berorientasi untuk mencari solusi, dan memilih untuk
tidak menghujat serta menghakimi.
Saking mudahnya meninggalkan dakwah, alasan apapun bisa dikemukakan.
Seseorang dapat mengelabuhi murabbi atau qiyadah dakwah dengan alasan
yang tampak masuk akal: bisnis, kerja, urusan keluarga, atau apapun (Qs.
Al Fath:11 dan Al Ahzab: 13). Tapi sungguh, Allah yang paling tahu apa
yang sebenarnya terjadi dalam diri kita. Apakah alasan-alasan itu benar
adanya, ataukah muncul dari kelemahan diri dan hasrat kuat untuk
menghindar dari amanah. Lagi-lagi, kita memang perlu banyak menelisik
diri sendiri.
Jika hari-hari ini kita mulai tampak lesu dan tidak bergairah di jalan
dakwah, forum-forum pembinaan juga terasa gampang ditinggalkan,
kontribusi yang mesti diberikan juga terasa berat ditunaikan, kerinduan
bertemu ikhwah tergantikan dengan hasrat kuat untuk mengejar duniawi,
atau teramat nyinyir dan antipati memandang dakwah serta komunitas
kebaikan lainnya, rasa-rasanya kitalah yang lebih butuh untuk menerima
banyak nasihat dibandingkan orang lain. Sungguh, tak ada manfaat yang
dapat diperoleh dari meninggalkan dakwah, kecuali hidup yang tercerabut
dari memperoleh barakah.
Hari-hari ini ketika waktu istirahat bagi sejumlah ikhwah terasa amat
singkat, kita sungguh merasa malu. Sebagian kita masih bersantai-santai,
bahkan membiarkan diri dalam lalai. Ya, ada banyak di antara kita,
termasuk saya, yang lebih butuh nasihat. []
*Penulis: @dwiboediyanto on twitter
0 komentar:
Posting Komentar